Ads 720 x 90

Aliran Pencak Silat Minangkabau

Silat Minangkabau (bahasa Minangkabau: silek Minangkabau) adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Di samping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar.

Filosofi dan tujuan

Randai, sebuah tarian Minangkabau yang mengadopsi gerakan silat.

Wilayah Minangkabau di bagian tengah Sumatera sebagaimana daerah di kawasan Nusantara lainnya adalah daerah yang subur dan produsen rempah-rempah penting sejak abad pertama Masehi, oleh sebab itu, tentu saja ancaman-ancaman keamanan bisa saja datang dari pihak pendatang ke kawasan Nusantara ini. Jadi secara fungsinya silat dapat dibedakan menjadi dua yakni sebagai

  • panjago diri (pembelaan diri dari serangan musuh).
  • parik paga dalam nagari (sistem pertahanan negeri).

Untuk dua alasan ini, maka masyarakat Minangkabau pada tempo dahulunya perlu memiliki sistem pertahanan yang baik untuk mempertahankan diri dan negerinya dari ancaman musuh kapan saja. Silek tidak saja sebagai alat untuk beladiri, tetapi juga mengilhami atau menjadi dasar gerakan berbagai tarian dan randai (drama Minangkabau). Emral Djamal Dt Rajo Mudo (2007) pernah menjelaskan bahwa pengembangan gerakan silat menjadi seni adalah strategi dari nenek moyang Minangkabau agar silat selalu diulang-ulang di dalam masa damai dan sekaligus untuk penyaluran "energi" silat yang cenderung panas dan keras agar menjadi lembut dan tenang. Sementara itu, jika dipandang dari sisi istilah, kata pencak silat di dalam pengertian para tuo silek (guru besar silat) adalah mancak dan silek. Perbedaan dari kata itu adalah:

Kata mancak atau dikatakan juga sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan.

Kata silek itu sendiri bukanlah untuk tari-tarian itu lagi, melainkan suatu seni pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, sehingga gerakan-gerakan diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan lawan.

Para tuo silek juga mengatakan jiko mamancak di galanggang, kalau basilek dimuko musuah (jika melakukan tarian pencak di gelanggang, sedangkan jika bersilat untuk menghadapi musuh). Oleh sebab itu para tuo silek (guru besar) jarang ada yang mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum bagaimana langkah-langkah mereka melumpuhkan musuh. Oleh sebab itu, pada acara festival silat tradisi Minangkabau, maka penonton akan kecewa jika mengharapkan dua guru besar (tuo silek) turun ke gelanggang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan. Kedua tuo silek itu hanya melakukan mancak dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main mereka, karena menjatuhkan tuo silek lain di dalam acara akan memiliki dampak kurang bagus bagi tuo silek yang "kalah". Dalam praktik sehari-hari, jika seorang guru silat ditanya apakah mereka bisa bersilat, mereka biasanya menjawab dengan halus dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mancak (pencak), padahal sebenarnya mereka itu mengajarkan silek (silat). Inilah sifat rendah hati ala masyarakat Nusantara, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri, biarlah kenyataan saja yang bicara. Jadi kata pencak dan silat akhirnya susah dibedakan. Saat ini setelah silek Minangkabau itu dipelajari oleh orang asing, mereka memperlihatkan kepada kita bagaimana serangan-serangan mematikan itu mereka lakukan. Keengganan tuo silek ini dapat dipahami karena Indonesia telah dijajah oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun, dan memperlihatkan kemampuan bertempur tentu saja tidak akan bisa diterima oleh bangsa penjajah pada masa dahulu, jelas ini membahayakan buat posisi mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa silat itu berasal dari kata silek. Kata silek pun ada yang menganggap berasal dari siliek, atau si liat, karena demikian hebatnya berkelit dan licin seperti belut. Di tiap Nagari memiliki tempat belajar silat atau dinamakan juga sasaran silek, dipimpin oleh guru yang dinamakan Tuo Silek. Tuo silek ini memiliki tangan kanan yang bertugas membantu dia mengajari para pemula.

Orang yang mahir bermain silat dinamakan pandeka (pendekar). Gelar Pandeka ini pada zaman dahulunya dilewakan (dikukuhkan) secara adat oleh ninik mamak dari nagari yang bersangkutan. Namun pada zaman penjajahan gelar dibekukan oleh pemerintah Belanda. Setelah lebih dari seratus tahun dibekukan, masyarakat adat Koto Tangah, Kota Padang akhirnya mengukuhkan kembali gelar Pandeka pada tahun 2000-an. Pandeka ini memiliki peranan sebagai parik paga dalam nagari (penjaga keamanan negeri), sehingga mereka dibutuhkan dalam menciptakan negeri yang aman dan tentram. Pada awal tahun ini (7 Januari 2009), Walikota Padang, H. Fauzi Bahar digelari Pandeka Rajo Nan Sati oleh Niniak Mamak (Pemuka Adat) Koto Tangah, Kota Padang. Gelar ini diberikan sebagai penghormatan atas upaya dia menggiatkan kembali aktivitas silek tradisional di kawasan Kota Padang dan memang dia adalah pesilat juga pada masa mudanya, sehingga gelar itu layak diberikan.

Sejarah Aliran Pencak Silat Minangkabau

Kajian sejarah silek memang rumit karena diterima dari mulut ke mulut, pernah seorang guru diwawancarai bahwa dia sama sekali tidak tahu siapa buyut gurunya. Bukti tertulis kebanyakan tidak ada. Seorang Tuo Silek dari Pauah, Kota Padang, cuma mengatakan bahwa dahulu silat ini diwariskan dari seorang kusir bendi (andong) dari Limau Kapeh , Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Seorang guru silek dari Sijunjung, Sumatera Barat mengatakan bahwa ilmu silat yang dia dapatkan berasal dari Lintau . Ada lagi Tuo Silek yang dikenal dengan nama Angku Budua mengatakan bahwa silat ini dia peroleh dari Koto Anau, Kabupaten Solok. Daerah Koto Anau di Kabupaten Solok, Bayang dan Banda Sapuluah di Kabupaten Pesisir Selatan, Pauah di Kota Padang atau Lintau di Kabupaten Tanah Datar pada masa lalunya adalah daerah penting di wilayah Minangkabau. Daerah Solok misalnya adalah daerah pertahanan kerajaan Minangkabau menghadapi serangan musuh dari darat, sedangkan daerah Pesisir adalah daerah pertahanan menghadapi serangan musuh dari laut. Tidak terlalu banyak guru-guru silek yang bisa menyebutkan ranji guru-guru mereka secara lengkap.

Jika dirujuk dari buku berjudul Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau karangan Mid Djamal (1986), maka dapat diketahui bahwa para pendiri dari Silek (Silat) di Minangkabau adalah

Datuak Suri Dirajo diperkirakan berdiri pada tahun 1119 Masehi di daerah Pariangan, Padangpanjang, Sumatera Barat.

  • Kambiang Utan (diperkirakan berasal dari Kamboja),
  • Harimau Campo (diperkirakan berasal dari daerah Champa),
  • Kuciang Siam (diperkirakan datang dari Siam atau Thailand)
  • Anjiang Mualim (diperkirakan datang dari Persia).

Pada masa Datuak Suri Dirajo inilah silek Minangkabau pertama kali diramu dan tentu saja gerakan-gerakan beladiri dari pengawal yang empat orang tersebut turut mewarnai silek itu sendiri. Nama-nama mereka memang seperti nama hewan (Kambing, Harimau, Kucing dan Anjing), namun tentu saja mereka adalah manusia, bukan hewan menurut persangkaan beberapa orang. Asal muasal Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim memang sampai sekarang membutuhkan kajian lebih dalam dari mana sebenarnya mereka berasal karena nama mereka tidak menunjukkan tempat secara khas. Mengingat hubungan perdagangan yang berumur ratusan sampai ribuan tahun antara pesisir pantai barat kawasan Minangkabau (Tiku, Pariaman, Air Bangis, Bandar Sepuluh dan Kerajaan Indrapura) dengan Gujarat (India), Persia (Iran dan sekitarnya), Hadhramaut (Yaman), Mesir, Campa (Vietnam sekarang) dan bahkan sampai ke Madagaskar pada masa lalu, bukan tidak mungkin silat Minangkabau memiliki pengaruh dari beladiri yang mereka miliki. Sementara itu, dari pantai timur Sumatera melalui sungai dari Provinsi Riau yang memiliki hulu ke wilayah Sumatera Barat (Minangkabau) sekarang, maka hubungan beladiri Minangkabau dengan beladiri dari Cina, Siam dan Champa bisa terjadi karena jalur perdagangan, agama, ekonomi, dan politik. Beladiri adalah produk budaya yang terus berkembang berdasarkan kebutuhan pada masa itu. Perpaduan dan pembauran antar beladiri sangat mungkin terjadi. Bagaimana perpaduan ini terjadi membutuhkan kajian lebih jauh. Awal dari penelitian itu bisa saja diawali dari hubungan genetik antara masyarakat di Minangkabau dengan bangsa-bangsa yang disebutkan di atas.

Jadi boleh dikatakan bahwa silat di Minangkabau adalah kombinasi dari ilmu beladiri lokal, ditambah dengan beladiri yang datang dari luar kawasan Nusantara. Jika ditelusuri lebih lanjut, diketahui bahwa langkah silat di Minangkabau yang khas itu adalah buah karya mereka. Langkah silat Minangkabau sederhana saja, namun di balik langkah sederhana itu, terkandung kecerdasan yang tinggi dari para penggagas ratusan tahun yang lampau. Mereka telah membuat langkah itu sedemikian rupa sehingga silek menjadi plastis untuk dikembangkan menjadi lebih rumit. Guru-guru silek atau pandeka yang lihai adalah orang yang benar-benar paham rahasia dari langkah silat yang sederhana itu, sehingga mereka bisa mengolahnya menjadi bentuk-bentuk gerakan silat sampai tidak hingga jumlahnya. Kiat yang demikian tergambar di dalam pepatah jiko dibalun sagadang bijo labu, jiko dikambang saleba alam (jika disimpulkan hanya sebesar biji labu, jika diuraikan akan menjadi selebar alam)


Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar

Subscribe Our Newsletter