Silat Minangkabau (bahasa Minangkabau: silek Minangkabau) adalah seni beladiri yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat, Indonesia yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Masyarakat Minangkabau memiliki tabiat suka merantau semenjak beratus-ratus tahun yang lampau. Untuk merantau tentu saja mereka harus memiliki bekal yang cukup dalam menjaga diri dari hal-hal terburuk selama di perjalanan atau di rantau, misalnya diserang atau dirampok orang. Di samping sebagai bekal untuk merantau, silek penting untuk pertahanan nagari terhadap ancaman dari luar.
Filosofi dan tujuan
Randai,
sebuah tarian Minangkabau yang mengadopsi gerakan silat.
Wilayah
Minangkabau di bagian tengah Sumatera sebagaimana daerah di kawasan Nusantara lainnya
adalah daerah yang subur dan produsen rempah-rempah penting sejak abad pertama
Masehi, oleh sebab itu, tentu saja ancaman-ancaman keamanan bisa saja datang
dari pihak pendatang ke kawasan Nusantara ini. Jadi secara fungsinya silat
dapat dibedakan menjadi dua yakni sebagai
- panjago
diri (pembelaan diri dari serangan musuh).
- parik paga dalam nagari (sistem pertahanan negeri).
Untuk
dua alasan ini, maka masyarakat Minangkabau pada tempo dahulunya perlu memiliki
sistem pertahanan yang baik untuk mempertahankan diri dan negerinya dari
ancaman musuh kapan saja. Silek tidak saja sebagai alat untuk beladiri, tetapi
juga mengilhami atau menjadi dasar gerakan berbagai tarian dan randai (drama
Minangkabau). Emral Djamal Dt Rajo Mudo (2007) pernah menjelaskan bahwa
pengembangan gerakan silat menjadi seni adalah strategi dari nenek moyang
Minangkabau agar silat selalu diulang-ulang di dalam masa damai dan sekaligus
untuk penyaluran "energi" silat yang cenderung panas dan keras agar
menjadi lembut dan tenang. Sementara itu, jika dipandang dari sisi istilah,
kata pencak silat di dalam pengertian para tuo silek (guru besar silat) adalah
mancak dan silek. Perbedaan dari kata itu adalah:
Kata
mancak atau dikatakan juga sebagai bungo silek (bunga silat) adalah berupa
gerakan-gerakan tarian silat yang dipamerkan di dalam acara-acara adat atau
acara-acara seremoni lainnya. Gerakan-gerakan untuk mancak diupayakan seindah
dan sebagus mungkin karena untuk pertunjukan.
Kata
silek itu sendiri bukanlah untuk tari-tarian itu lagi, melainkan suatu seni
pertempuran yang dipergunakan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh,
sehingga gerakan-gerakan diupayakan sesedikit mungkin, cepat, tepat, dan melumpuhkan
lawan.
Para tuo
silek juga mengatakan jiko mamancak di galanggang, kalau basilek dimuko musuah
(jika melakukan tarian pencak di gelanggang, sedangkan jika bersilat untuk
menghadapi musuh). Oleh sebab itu para tuo silek (guru besar) jarang ada yang
mau mempertontonkan keahlian mereka di depan umum bagaimana langkah-langkah
mereka melumpuhkan musuh. Oleh sebab itu, pada acara festival silat tradisi
Minangkabau, maka penonton akan kecewa jika mengharapkan dua guru besar (tuo
silek) turun ke gelanggang memperlihatkan bagaimana mereka saling serang dan
saling mempertahankan diri dengan gerakan yang mematikan. Kedua tuo silek itu
hanya melakukan mancak dan berupaya untuk tidak saling menyakiti lawan main
mereka, karena menjatuhkan tuo silek lain di dalam acara akan memiliki dampak
kurang bagus bagi tuo silek yang "kalah". Dalam praktik sehari-hari,
jika seorang guru silat ditanya apakah mereka bisa bersilat, mereka biasanya
menjawab dengan halus dan mengatakan bahwa mereka hanya bisa mancak (pencak),
padahal sebenarnya mereka itu mengajarkan silek (silat). Inilah sifat rendah
hati ala masyarakat Nusantara, mereka berkata tidak meninggikan diri sendiri,
biarlah kenyataan saja yang bicara. Jadi kata pencak dan silat akhirnya susah
dibedakan. Saat ini setelah silek Minangkabau itu dipelajari oleh orang asing,
mereka memperlihatkan kepada kita bagaimana serangan-serangan mematikan itu
mereka lakukan. Keengganan tuo silek ini dapat dipahami karena Indonesia telah
dijajah oleh bangsa Belanda selama ratusan tahun, dan memperlihatkan kemampuan
bertempur tentu saja tidak akan bisa diterima oleh bangsa penjajah pada masa
dahulu, jelas ini membahayakan buat posisi mereka.
Ada
pendapat yang mengatakan bahwa silat itu berasal dari kata silek. Kata silek
pun ada yang menganggap berasal dari siliek, atau si liat, karena demikian
hebatnya berkelit dan licin seperti belut. Di tiap Nagari memiliki tempat
belajar silat atau dinamakan juga sasaran silek, dipimpin oleh guru yang
dinamakan Tuo Silek. Tuo silek ini memiliki tangan kanan yang bertugas membantu
dia mengajari para pemula.
Orang
yang mahir bermain silat dinamakan pandeka (pendekar). Gelar Pandeka ini pada
zaman dahulunya dilewakan (dikukuhkan) secara adat oleh ninik mamak dari nagari
yang bersangkutan. Namun pada zaman penjajahan gelar dibekukan oleh pemerintah
Belanda. Setelah lebih dari seratus tahun dibekukan, masyarakat adat Koto
Tangah, Kota Padang akhirnya mengukuhkan kembali gelar Pandeka pada tahun
2000-an. Pandeka ini memiliki peranan sebagai parik paga dalam nagari (penjaga
keamanan negeri), sehingga mereka dibutuhkan dalam menciptakan negeri yang aman
dan tentram. Pada awal tahun ini (7 Januari 2009), Walikota Padang, H. Fauzi
Bahar digelari Pandeka Rajo Nan Sati oleh Niniak Mamak (Pemuka Adat) Koto
Tangah, Kota Padang. Gelar ini diberikan sebagai penghormatan atas upaya dia
menggiatkan kembali aktivitas silek tradisional di kawasan Kota Padang dan
memang dia adalah pesilat juga pada masa mudanya, sehingga gelar itu layak
diberikan.
Sejarah Aliran Pencak Silat Minangkabau
Kajian
sejarah silek memang rumit karena diterima dari mulut ke mulut, pernah seorang
guru diwawancarai bahwa dia sama sekali tidak tahu siapa buyut gurunya. Bukti
tertulis kebanyakan tidak ada. Seorang Tuo Silek dari Pauah, Kota Padang, cuma
mengatakan bahwa dahulu silat ini diwariskan dari seorang kusir bendi (andong)
dari Limau Kapeh , Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Seorang guru
silek dari Sijunjung, Sumatera Barat mengatakan bahwa ilmu silat yang dia
dapatkan berasal dari Lintau . Ada lagi Tuo Silek yang dikenal dengan nama
Angku Budua mengatakan bahwa silat ini dia peroleh dari Koto Anau, Kabupaten
Solok. Daerah Koto Anau di Kabupaten Solok, Bayang dan Banda Sapuluah di
Kabupaten Pesisir Selatan, Pauah di Kota Padang atau Lintau di Kabupaten Tanah
Datar pada masa lalunya adalah daerah penting di wilayah Minangkabau. Daerah
Solok misalnya adalah daerah pertahanan kerajaan Minangkabau menghadapi
serangan musuh dari darat, sedangkan daerah Pesisir adalah daerah pertahanan
menghadapi serangan musuh dari laut. Tidak terlalu banyak guru-guru silek yang
bisa menyebutkan ranji guru-guru mereka secara lengkap.
Jika
dirujuk dari buku berjudul Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat
Minangkabau karangan Mid Djamal (1986), maka dapat diketahui bahwa para pendiri
dari Silek (Silat) di Minangkabau adalah
Datuak
Suri Dirajo diperkirakan berdiri pada tahun 1119 Masehi di daerah Pariangan,
Padangpanjang, Sumatera Barat.
- Kambiang Utan (diperkirakan berasal dari Kamboja),
- Harimau Campo (diperkirakan berasal dari daerah Champa),
- Kuciang Siam (diperkirakan datang dari Siam atau Thailand)
- Anjiang Mualim (diperkirakan datang dari Persia).
Pada
masa Datuak Suri Dirajo inilah silek Minangkabau pertama kali diramu dan tentu
saja gerakan-gerakan beladiri dari pengawal yang empat orang tersebut turut
mewarnai silek itu sendiri. Nama-nama mereka memang seperti nama hewan
(Kambing, Harimau, Kucing dan Anjing), namun tentu saja mereka adalah manusia,
bukan hewan menurut persangkaan beberapa orang. Asal muasal Kambiang Hutan dan
Anjiang Mualim memang sampai sekarang membutuhkan kajian lebih dalam dari mana
sebenarnya mereka berasal karena nama mereka tidak menunjukkan tempat secara
khas. Mengingat hubungan perdagangan yang berumur ratusan sampai ribuan tahun
antara pesisir pantai barat kawasan Minangkabau (Tiku, Pariaman, Air Bangis,
Bandar Sepuluh dan Kerajaan Indrapura) dengan Gujarat (India), Persia (Iran dan
sekitarnya), Hadhramaut (Yaman), Mesir, Campa (Vietnam sekarang) dan bahkan
sampai ke Madagaskar pada masa lalu, bukan tidak mungkin silat Minangkabau
memiliki pengaruh dari beladiri yang mereka miliki. Sementara itu, dari pantai
timur Sumatera melalui sungai dari Provinsi Riau yang memiliki hulu ke wilayah
Sumatera Barat (Minangkabau) sekarang, maka hubungan beladiri Minangkabau dengan
beladiri dari Cina, Siam dan Champa bisa terjadi karena jalur perdagangan,
agama, ekonomi, dan politik. Beladiri adalah produk budaya yang terus
berkembang berdasarkan kebutuhan pada masa itu. Perpaduan dan pembauran antar
beladiri sangat mungkin terjadi. Bagaimana perpaduan ini terjadi membutuhkan
kajian lebih jauh. Awal dari penelitian itu bisa saja diawali dari hubungan
genetik antara masyarakat di Minangkabau dengan bangsa-bangsa yang disebutkan
di atas.
Jadi
boleh dikatakan bahwa silat di Minangkabau adalah kombinasi dari ilmu beladiri
lokal, ditambah dengan beladiri yang datang dari luar kawasan Nusantara. Jika
ditelusuri lebih lanjut, diketahui bahwa langkah silat di Minangkabau yang khas
itu adalah buah karya mereka. Langkah silat Minangkabau sederhana saja, namun
di balik langkah sederhana itu, terkandung kecerdasan yang tinggi dari para
penggagas ratusan tahun yang lampau. Mereka telah membuat langkah itu
sedemikian rupa sehingga silek menjadi plastis untuk dikembangkan menjadi lebih
rumit. Guru-guru silek atau pandeka yang lihai adalah orang yang benar-benar
paham rahasia dari langkah silat yang sederhana itu, sehingga mereka bisa
mengolahnya menjadi bentuk-bentuk gerakan silat sampai tidak hingga jumlahnya.
Kiat yang demikian tergambar di dalam pepatah jiko dibalun sagadang bijo labu,
jiko dikambang saleba alam (jika disimpulkan hanya sebesar biji labu, jika
diuraikan akan menjadi selebar alam)
Posting Komentar
Posting Komentar